Beberapa hari lalu ada pertanyaan dari calon klien mengenai status keberlakuan sebuah undang-undang yang beberapa bulan lalu diuji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Yang bersangkutan merasa perlu menanyakan ini karena undang-undang yang dimaksud sangat terkait dengan aktivitas entitas tempatnya bernaung di Indonesia. Pertanyaan ini terus menggelayut di kepala saya selepas pertemuan itu. Bukan soal substansi pertanyaannya, namun pada sejauh mana orang awam memahami kedudukan MK, putusan pengujian materiel yang dihasilkan, dan terutama penafsiran atas Pasal-Pasal dalam UUD 1945 yang menjadi acuan sebuah pengujian materiel undang-undang. Singkatnya, poin yang terakhir berarti sejauh mana orang awam, yang tidak mengeyam pendidikan tinggi hukum, mengetahui hukum yang berlaku (law of the land).
Sebagai seseorang dengan kualifikasi pendidikan tinggi hukum dan berkarir secara profesional sebagai praktisi dan peneliti hukum, tentu ini bukan perkara sulit. Jikapun saya tidak mengetahui secara spesifik sebuah isu hukum yang sudah pernah diberikan penafsiran oleh MK, mudah bagi saya untuk melakukan penelusuran dan memahaminya. Tapi bukankah UUD 1945 tidak hanya untuk mereka yang mengerti hukum? Sebagai kontrak sosial yang menjadi legitimasi berdirinya sebuah negara konstitusional bernama Republik Indonesia, UUD 1945 berlaku untuk semua. Terlebih dalam tradisi hukum sipil/Eropa Kontinental, yang kita anut sebagai ex-koloni Belanda, yang sangat kental dengan ciri hukum tertulis-nya dimana semua orang dianggap mengetahui hukum (UUD, Undang-undang, dan semua peraturan teknis dibawahnya) dengan asas fiksi hukum (publisitas) itu. Presumptio iures di iure, semua orang dianggap tahu hukum ketika ia diundangkan. Begitu bunyi adagium latin yang menjadi sandaran asas ini. Sederhananya Anda tidak akan pernah bisa mengelak ketika, misalnya, ditilang polisi dengan dalih “maaf Pak/Bu saya gak tau kalau itu dilarang”.
Maka pertanyaan dari seorang awam yang berkepentingan mengetahui hukum yang berlaku ini sangat mengusik saya. Terlebih yang Ia tanyakan adalah sesuatu yang terkait dengan hak konstituional yang diatur dalam UUD 1945. Tidak semua orang mengetahui peran dan kewenangan MK, kedudukan putusan pengujian material MK, status undang-undang yang diuji materi oleh MK, dan proses legislasi (oleh parlemen) yang seyogianya dilakukan pasca putusan MK. Saya meyakini keadilan, sebagai tujuan utama hukum, tidak akan dapat sepenuhnya terwujud jika warga negara dan semua yang berkepentingan tidak mengetahui dan memahami hukum apa yang berlaku (law of the land). Ini memang sejatinya tugas mereka dengan otoritas dan sumber daya untuk membuat asas fiksi hukum itu terwujud melebihi kewajiban administratif pengundangan hukum tertulis dalam lembaran dan/atau berita negara. Terlebih dalam konteks keberadaan MK pasca reformasi, memahami hukum (tertulis), termasuk UUD, tidak bisa lagi sesederhana membaca satu dokumen hukum. Anda harus cross check penafsiran MK atas bunyi Pasal-Pasal dalam UUD 1945 yang lahir dari ribuan pengujian materiel yang telah dilakukan MK sejak berdiri pada tahun 2003 lalu. Berdasarkan statistik, MK telah melakukan pengujian materiel (judicial review) sebanyak 1940 kali (https://en.mkri.id/court/statistics) dimana 338 diantaranya dikabulkan. Selain Judicial Review (Pengujian Materiel atas undang-undang terhadap UUD 1945), MK juga memiliki kewenangan melakukan penyelesaian sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang mandatnya didapatkan dari UUD 1945. Sejak berdiri, MK telah melakukan penyelesaian sengketa kewenangan sebanyak 29 kali dimana 1 perkara dikabulkan. Artinya sekurang-kurangnya terdapat 338+1 penafsiran MK atas UUD 1945 setelah amandemen ke-4 yang berisi 73 Pasal itu.
Saya belum pernah melakukan penelusuran apakah ada akademisi atau praktisi hukum yang mencoba mengkonsolidasikan penafsiran MK atas Pasal-Pasal dalam UUD 1945 ini dalam satu dokumen utuh. Karena berdasarkan disain ketatanegaraan kita, penafsiran MK tersebut secara praktis adalah law of the land, hukum yang berlaku terlebih jika belum ada tindak lanjut dari DPR selaku pemegang kuasa legislasi untuk membuat hukum baru sesuai dengan putusan MK. Soal ini, saya teringat buku klasik hukum tata negara Amerika Serikat karangan Laurence H. Tribe, guru besar emeritus hukum tata negara di Harvard University berjudul American Constitutional Law. Buku ini sangat membantu kita memahami law of the land di AS, negara dengan tradisi hukum common law yang tidak bergantung pada hukum tertulis yang dihasilkan parlemen namun juga penafsiran atas hukum oleh Mahkamah Agung AS. Dengan tradisi ini, sebuah putusan MA AS menjadi hukum meski tidak ditindaklanjuti oleh Kongres menjadi sebuah undang-undang, seperti Roe v Wade yang mengatur konstitusionalitas aborsi beberapa waktu lalu misalnya. Maka bisa dibayangkan betapa merepotkannya memahami hukum dasar AS jika harus melakukan pengecekan atas semua putusan MA AS yang sejak berdiri pada 1789 telah mengeluarkan ribuan putusan yang mengikat (legally binding decisions) perihal interpretasi atas Konstitusi mereka. Maka buku Prof. Tribe, yang secara praktis mengkonsolidasikan putusan-putusan penting MA AS dalam satu dokumen utuh, membantu kita dalam memahami law of the land di Amerika Serikat.
Saya membayangkan kita memiliki juga buku/dokumen serupa itu. Lagi-lagi saya harus sampaikan, saya belum mengecek apakah sudah ada yang menyusun buku/dokumen serupa dalam konteks Indonesia. Keberadaan buku/dokumen ini akan membantu kita semua dalam memahami law of the land yang dalam pandangan saya menjadi tahapan awal dalam mewujudkan keadilan hukum. Ditengah keterbatasan waktu dan sumber daya yang saya miliki, saya punya ambisi melakukan hal serupa yang dilakukan Prof. Tribe, tentunya tidak dapat disandingkan mempertimbangkan keterbatasan kapasitas dan pengetahuan yang saya miliki. Setidaknya, saya sangat tertarik melakukan konsolidasi penafsiran MK atas beberapa Pasal dalam UUD 1945 yang terkait dengan bidang kerja saya saat ini: lingkungan hidup, pengelolaan sumber daya alam dan sub-set isu yang terkait seperti hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat. Anggaplah ini menjadi artikel pembuka dari seri tulisan/artikel yang akan saya buat untuk menjawab kegelisahan atas efek dari pertanyaan calon klien yang saya sebut di muka.
Mengkonsolidasikan penafsiran MK atas pasal-pasal UUD 1945 juga sangat penting jika kita berniat mendorong perubahan/amandemen konstitusi. Saya berkeyakinan konstitusi/hukum dasar hendaknya tidak rigid dalam artian memiliki kapasitas adaptif untuk menyesuaikan dengan masalah-masalah aktual yang bisa jadi tidak pernah muncul saat Konstitusi ditetapkan. Soal ini saya sangat tertarik dengan eksperimen Gabriel Boric, Presiden Chile dan faksi kiri pendukungnya, yang mendorong amandemen konstitusi Chile yang dibuat di era junta militer Pinochet. Boric, seorang millenial, bersama pendukungnya menginginkan konstitusi baru yang relevan dengan isu-isu yang dihadapi generasi muda saat ini: perubahan iklim, jaminan sosial-kesehatan dan kemudahan memperoleh pekerjaan selain soal pengakuan bangsa-bangsa asli di Chile. Meskipun referendum berakhir dengan kegagalan, eksperimen Boric menunjukan kesadaran generasi muda mengenai kedudukan Konstitusi yang tidak sepantasnya disakralisasi sehingga menyulitkan untuk diubah ketika dibutuhkan. Di sisi lain, saya juga percaya Konstitusi harus mengatur hal-hal mendasar yang kokoh dan tidak mudah diubah. Sebagaimana yang disampaikan peraih Nobel Ekonomi tahun 2024 Daron Acemoglu dalam Why Nations Fail yang sangat populer itu, kelembagaan politik dan ekonomi suatu negara menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan sebuah negara dalam mengakumulasi kekayaan yang secara langsung akan berdampak pada tingkat kesejahteraan warganya. Amerika Serikat adalah bukti nyata negara dengan sistem kelembagaan dan ketatanegaraan yang kokoh, dimana selama lebih dari 2 abad berdiri dapat melewati perang sipil, perang dunia, dan pemimpin dengan banyak kelemahan namun tetap digdaya secara ekonomi dan politik dalam skala global. Tidak dapat disangkal, kokohnya kelembagaan politik dan ekonomi AS adalah buah dari disain ketatanegaraan dalam konstitusi mereka.
Memiliki konstitusi yang memperhatikan keseimbangan dua karakter ini dalam pandangan saya menjadi hal yang sangat krusial ditengah tantangan global saat ini: krisis iklim, ancaman pandemi, ketimpangan, dan kepemimpinan autokratik. UUD 1945 yang berlaku saat ini merupakan hasil 4 kali amandemen yang dilakukan dalam kurun 1999-2001 sebagai respon atas reformasi politik 1998. Beragamnya tantangan politik, hukum, sosial dan ekonomi yang kita alami sejak saat itu serta pesatnya perkembangan geopolitik kontemporer rasanya cukup menjadi alasan untuk mendorong kembali perubahan UUD 1945. Sayangnya, dalam konteks Indonesia, narasi amandemen UUD 1945 selama sekurang-kurangnya 10 tahun kebelakang hanya didominsasi oleh penguasa yang menginginkan perpanjangan masa jabatan atau penambahan kewenangan lembaga yang diampunya. Generasi muda (millenial, gen z, dan gen alpha) seharusnya menjadi pihak yang paling berkepentingan dengan narasi amandemen UUD 1945 dan menjadi suar penggeraknya. Karena generasi ini lah yang akan menghadapi tantangan masa depan. Terkait dengan itu, tidak ada yang lebih strategis untuk dilakukan selain mengkonsolidasikan putusan MK dalam berbagai pengujian materiel undang-undang terhadap UUD 1945 selama hampir 3 dekade reformasi ini. Penafsiran MK atas UUD 1945, sebagai konsekuensi judicial review, dapat menjadi panduan amandemen selain juga sebagai bukti empirik yang menunjukan perlunya penyesuaian atas beberapa ketentuan dalam hukum dasar kita.
Leave a Reply