Sekitar bulan Februari 2018 lalu saya melakukan perjalanan (business trip) ke Ampana, sebuah kota pelabuhan yang berada di pesisir teluk Tomini dan merupakan ibu kota kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. Kota ini lebih dikenal sebagai salah satu area transit terdekat menuju ke Kepulauan Togean, sebuah kawasan taman nasional laut yang belakangan semakin dikenal sebagai tempat yang sangat indah untuk aktivitas diving dan snorkeling. Silahkan google sendiri Kepulauan Togean, karena sayangnya saya tidak melipir ke Togean meski sudah selemparan batu saja dari Ampana. Ya, mau gimana lagi, ini kan business trip yang didanai kantor bukan wisata dimana saya bisa bebas menentukan mau pergi kemana kan hehe.
Ini pertama kalinya saya mengunjungi Ampana. Untuk mencapai kota ini dari Jakarta, saya menempuh penerbangan ke Palu, untuk kemudian menyambung penerbangan ke Ampana dengan menggunakan pesawat ATR. Mereka yang hendak pesiar ke Togean dari Jakarta menempun rute yang sama dimana mereka melanjutkan 3 jam perjalanan laut ke Togean dari Ampana. Sesaat sebelum landing, mata saya tidak bisa lepas dari birunya laut teluk Tomini.
Bandara di Ampana hanya melayani penerbangan dari dan menuju Palu. Setiap harinya hanya ada dua kali penerbangan. Benar-benar kota yang sepi. Dari sini, saya dijemput oleh rekan yang langsung membawa saya ke restoran di pesisir sepanjang jalan Trans Sulawesi yang mulus dan sangat lengang. Restoran yang berada di Desa Sabo, kecamatan Ampana Tete ini menyuguhkan menu ikan yang luar biasa enak. Sebetulnya sudah pasti begitu. Kelakar teman-teman saya yang tinggal di wilayah pesisir macam Ampana ini adalah ikan yang dikonsumsi di wilayah itu cuma mati sekali: ditangkap nelayan langsung diolah maka rasanya jauh lebih nikmat. Sementara ikan yang dikonsumsi di kota-kota besar di Jawa sudah mati berkali-kali. Sebuah kelakar yang merujuk pada panjangnya rantai pasok (supply chain) pangan ikan di kota-kota besar di Jawa yang membuat ikan yang ditangkap nelayan harus diawetkan dan dibekukan sebelum diolah. Oleh karena itu disebut “mati berkali-kali” hehehe.
Keesokan harinya di pagi hari saya berjalan-jalan di sekitar hotel tempat saya menginap. Di pantai terdekat saya menemukan pemandangan menarik: sebuah perahu yang dialihfungsikan sebagai ambulan dan puskesmas keliling. Setiap berkunjung ke daerah seperti ini saya selalu berfikir betapa resilient-nya orang Indonesia. Keterbatasan fasilitas tidak mengurangi semangat mereka untuk berikhtiar mendapatkan hidup yang lebih baik. Tapi di sisi lain, ini pun selalu membuat saya tersadar tentang disparitas pembangunan dan pemerataan manfaat ekonomi. Keterbatasan fasilitas kesehatan seperti ini adalah salah satunya.
Punya kesempatan mengunjungi tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah pernah saya tau ini adalah kemewahan yang sangat saya syukuri. Pekerjaan saya membawa saya ke Ampana dan tempat indah lainnya. Saya disuguhi pemandangan yang indah disana, namun juga disadarkan tentang peliknya memastikan kebijakan bisa benar-benar berjalan mengatasi kesenjangan antara pusat-pusat pembangunan dengan daerah-daerah peripheral. Semoga asosiasi kota ini dengan Togean bisa membantu meningkatkan ekonomi dan taraf hidup warga di Ampana.
Leave a Reply