Senior dan tutor-tutor hukum lingkungan (di kampus dan luar kampus) selalu bilang begini kira-kira: “Hukum lingkungan itu bergerak sangat dinamis, dan karenanya membuka pengembangan doktrin-doktrin hukum kontemporer yang dipakai gak cuma di disiplin hukum lingkungan saja”. Konsep-konsep macam strict liability sampai pertanggungjawaban korporasi berkembang pada mulanya dalam konteks hukum lingkungan. Maka dari itu menceburkan diri kedalam disiplin ini memang begitu menantang sebetulnya. Gak cuma dituntut buat mengasah kemahiran berhukum untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang nyaris berkembang terus, tapi juga sense of justice, dan to some extent pengetahuan mendasar tentang ilmu lingkungan dan ekologi .
Well, gw gak mau nulis yang berat soal itu . Gw cuma mau cerita dikit tentang “sejarah kecil” orang-orang yang bisa dibilang termasuk dalam “dewa-dewa-nya” hukum dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Ini seinget gw aja sih nulisnya, sempet baca di beberapa tulisan: Kumpulan obituari Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (ini patron-nya hukum lingkungan, beliau Guru Besar Ilmu Hukum UGM), buku terbitan BKPRN (sebelum dibubarin, ini badan koordinasi penataan ruang) gw lupa judulnya apa tapi kira-kira di bagian awal itu ada kilas sejarah tentang “penataan ruang dan lingkungan hidup”, dan buku tentang Peran dan Kontribusi Emil Salim dalam Pembangunan Berkelanjutan.
Semua kisah-kisah “kecil” itu bisa dibilang berawal dari hari ini: 5 Juni, 46 tahun lalu. Yup, hari itu emang bersejarah banget karena itu dimulainya sebuah Konferensi Internasional sebagai tindak lanjut dari Resolusi Majelis Umum PBB No. Res. 2389 (XXIII) (1968). Konferensi yang dilangsungkan di Stockholm, Swedia dan kemudian dikenal dengan Stockholm Conference ini punya nama resmi: The 1972 UN Conference on the Human Environment. Dari namanya jelas dong, ini memang pertemuan internasional untuk membahas isu lingkungan hidup. Bisa dibilang ini pertemuan bersejarah, karena dihadiri oleh banyak pihak (114 negara), lembaga-lembaga internasional, dan (ini yang terpenting) untuk pertama kalinya mengundang banyak sekali LSM sebagai observer. Itu makanya hari dibukanya konferensi ini diperingati setiap tahun secara resmi oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Suasa kebatinan sebelum pelaksanaan konferensi ini memang “mendukung” dilahirkannya sebuah lompatan dalam hukum dan politik internasional berkenaan dengan relasi antara pembangunan dan kelestarian lingkungan hidup. Kasus-kasus pencemaran lingkungan akibat pengunaan DDT untuk menggenjot produksi pertanian sempat jadi skandal besar di Amerika Serikat, terutama ketika Rachel Carson (nah ini tokoh penting banget dalam gerakan lingkungan) menerbitkan buku klasik yang sekarang jadi bible-nya aktivis lingkungan: The Silent Spring tahun 1962. Gara-gara tulisan Carson ini, presiden Kennedy sampai harus bikin pernyataan dan akhirnya melahirkan diskursus yang berujung pada pembentukan Environmnetal Protection Agency (EPA) pada tahun 1970. Lembaga semacam EPA ini belum pernah ada sebelumnya dan karenanya masalah lingkungan hidup ketika itu ditangani secara parsial dan sektoral oleh instansi-instansi terpisah. Dalam kasus pencemaran DDT di Amerika itu misalnya, sebelum ada EPA, ditangani oleh USDA (Departemen Agrikultur/Pertanian).
Selain kasus DDT di Amerika Serikat, dunia juga dihadapkan ketika itu dengan apa yang kemudian dikenal sebagai Revolusi Hijau, sebuah perubahan drastis dalam teknologi dan budidaya pertanian yang berorientasi menggenjot produksi pertanian. Dampak merusak revolusi hijau ini gak cuma ke lingkungan (seperti pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya) tapi juga merusak sendi kehidupan sosial masyarakat di pedesaan. Perubahan pola konsumsi akibat arahan direktif negara bagi para petani untuk menanam varietas tanaman tertentu sebagai bagian dari pemenuhan target produksi pertanian membuat para petani tercerabut dari kearifan lokal dan pengetahuan tradisional dalam pemenuhan kebutuhan pangannya. Dampak merusaknya masih terasa sampai sekarang, sebut misalnya kasus-kasus kelaparan di beberapa wilayah karena kurangnya pasokan dan produksi beras, padahal secara turun temurun leluhur mereka mengkonsumsi sagu untuk pemenuhan kebutuhan pangannya.
Selain yang terkait dengan pertanian, sebelum 1972 itu, dunia juga dihadapkan pada pertumbuhan ekonomi pasca perang yang semakin meroket. Pembangunan yang menandai pertumbuhan ekonomi itu bertumpu pada penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil yang kotor dan polutif. Yang terjadi ketika dunia hanya mengejar pertumbuhan ekonomi seperti ini adalah harus ada yang berkurang dan bahkan hilang: kualitas lingkungan hidup. Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi juga berdampak pada peningkatan standar hidup sebagai konsekuensi logis dari berbagai inovasi dan pengembangan teknologi. Ketika standar hidup meningkat, angka harapan hidup semakin naik, maka populasi manusia juga semakin ini meningkat. Populasi meningkat, maka akan ada semakin banyak mulut yang harus dikasih makan. Semakin banyak mulut yang harus di kasih makan artinya semakin banyak lahan pertanian yang harus dibuat, lahan penggembalaan ternak yang harus ditambah, hingga peningkatan tangkapan hasil laut dan karenanya: pembukaan kawasan hutan dan penangkapan sumber daya perikanan yang excessive untuk memenuhi itu semua. Makin lengkap lah sudah: pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan ekosistem.
Tapi itu belum cukup, dunia pasca perang dunia ke-2 adalah dunia yang terbagi dalam dua kutub ideologis negara-negara yang masing-masing siap menikam dengan senjata paling mematikan: Nuklir. Maka makin sakitlah bumi kita yang satu-satunya ini dengan berbagai pencemaran radioaktif dari berkali-kali uji coba nuklir yang dilakukan oleh negara-negara NATO (AS dan sekutunya) dan Pakta Warsawa (Uni Soviet dan sekutunya). Rusaknya atol di pasfifik, hilangnya lapisan es purba di arktik adalah beberapa dari kerugian tak tergantikan akibat ambisi negara adidaya di masa itu untuk pengembangan senjata pemusnah massal mereka. Entah apakah ada debu-debu radioaktif yang mengendap di tubuh kita sekarang akibat dari uji coba nuklir di masa lalu itu.
Semua hal yang gak enak itu menjadi latar pelaksanaan Konferensi Stockholm, 5 Juni 1972. Pertemuan ini tidak menghasilkan legally binding instruments, perangkat hukum internasional yang mengikat semua negara yang hadir didalamnya. Tapi sekurang-kurangnya ada 3 non-legally binding instruments yang disepakati: Resolution on Institutional and Financial Arrangement; Declaration of the UN Conference on the Human Environment; dan action plan yang memuat 109 butir rekomendasi. Buat langkah awal, ini adalah kemajuan luar biasa, karena sebagaimana yang masih terjadi sampai saat ini, dalam pertemuan ini tergambar dengan jelas perbedaan kepentingan antara negara-negara maju yang berkontribusi besar terhadap kerusakan lingkungan dan negara-negara berkembang yang paling merasakan dampak kerusakan lingkungan namun memiliki keterbatasan dalam pengembangan teknologi hijau yang ramah lingkungan untuk menopang pertumbuhan ekonomi mereka.
Dimana Indonesia saat itu?
Konferensi Stockholm bukan cuma milestone buat pengembangan hukum (dan politik) lingkungan internasional, tapi juga jadi titik balik buat orang-orang yang terlibat di dalamnya. Termasuk untuk Pak Emil Salim, yang ketika itu diutus oleh Presien Soeharto, untuk menghadiri konferensi ini. Waktu itu Pak Emil menjabat sebagai wakil ketua Bappenas yang diketuai Prof. Widjojo Nitisastro. Beliau berangkat ke Stockholm sebagai delegasi yang dipimpin oleh Prof. J.B. Sumarlin. Sebelum pelaksanaan konferensi ini, Pak Emil juga ditugaskan untuk mengetuai sebuah panitia antar departemen yang bertugas untuk menyiapkan pokok pemikiran pemerintah yang akan dibawa kesana. Nama-nama ini (termasuk juga Pak Emil) adalah bagian dari kelompok teknokrat yang kerap dijuluki, secara peyoratif, sebagai Mafia Berkeley, grup teknokrat eknomi lulusan Amerika Serikat (Univ. of California, Berkeley). Grup yang memiliki patron Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo (ayahnya Prabowo) ini memang kumpulan orang jenius yang kala itu dipercaya Soeharto buat memulihkan ekonomi yang morat-marit selepas “kudeta diam-diam” Soeharto di tahun 1965 (soal ini harus ditulis terpisah hehe).
Sebagaimana halnya EPA yang baru terbentuk tahun 1970-an, pada masa itu Indonesia belum punya Kementerian Lingkungan Hidup, atau sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Maka Pak Harto mengurus orang dari kementerian/lembaga yang membidangi urusan pembangunan untuk menghadiri Konferensi Stockholm, toh yang dibahas juga memang seputar isu-isu pembangunan kontemporer disana.
Pak Emil (sebagaimana dituturkan dalam buku Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim) sebagai bagian dari tim ekonomi pemerintah ketika itu datang dengan kecurigaan: apakah isu lingkungan hidup akan menjadi indikator baru bantuan luar negeri yang memang saat itu sangat dibutuhkan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tapi yang terjadi, sebagaimana dituturkan oleh yang bersangkutan, beliau disana justru mempelajari konfigurasi pertentangan negara-negara dalam menyikapi persoalan lingkungan hidup dalam kaitannya dengan pembangunan. Pertentangan antara negara-negar berkembang yang masih harus menggenjot pertumbuhan eknomi-nya, dengan konsekuensi ada dampak lingkungan yang ditimbulkan dan negara-negara maju yang juga enggan mengerem laju pertumbuhan ekonominya dan enggan pula membagi “pengetahuan” dan terutama dana untuk pengembangan teknologi (dan eknomi) yang lebih “bersih” dan aman untuk lingkungan.
Tapi ada yang lebih krusial dari itu, disana adalah momentum awal Pak Emil bersentuhan dengan gerakan lingkungan hidup. Konferensi Stockholm yang mengundang banyak LSM ketika itu agaknya menjadi semacam tempat persemaian yang pas buat Pak Emil untuk mendengar dan bertukar gagasan dengan kelompok masyarakat sipil yang menyuarakan alternatif atas konsep pembangunan yang menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Ini menjadi modal berharga buat beliau yang kemudian dipercaya Pak Harto mengisi jabatan sebagai menteri di kementerian yang baru dibentuk pada tahun 1978: Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup.
Sejak menjabat sebagai menteri yang mengurusi urusan lingkungan hidup itu sampai dengan tahun 1993, beliau banyak berinteraksi dengan kelompok LSM, bahkan istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sendiri kabarnya dipopulerkan oleh beliau untuk menggantikan istilah Ornop (Organisasi Non-Pemerintah) yang kerap digunakan dalam tendensi negatif oleh pemerintah Orde Baru ketika itu. Interaksi yang erat antara Pak Emil dengan elemen LSM ini gak main-main, beliau sampai menyediakan ruangan di kantor kementerian-nya untuk para aktivis LSM ini.
Sinergi yang erat ini juga yang menjadi momentum berikutnya bagi gerakan lingkungan hidup tanah air: Lahirnya WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada bulan Oktober 1980 dan Undang-undang No. 4/1982 tentang Lingkungan Hidup. Dua hal ini sama-sama yang pertama. Walhi adalah LSM (skala nasional) pertama yang khusus bergerak di bidang lingkungan hidup dan UU 4/1982 adalah undang-undang pertama yang mengatur lingkungan hidup di Indonesia. Walhi terbentuk atas prakarsa Pak Emil menyelenggarakan pertemuan orang-orang, kelompok pencinta alam dan profesi yang peduli pada kelestarian lingkungan. Sementara UU 4/1982 adalah regulasi yang pertama kali secara khusus memberikan legitimasi bagi keberadaan organisasi yang berjuang dan mengatasnamakan kelestarian lingkungan hidup.
Ada satu nama yang juga tak bisa lepas dari Pak Emil dalam kaitannya dengan gerakan lingkungan hidup tanah air: (alm) Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (Pak Koes). Beliau adalah guru besar ilmu hukum UGM. Yang unik dari relasi Pak Emil dan Pak Koes adalah mereka berdua sama-sama veteran Tentara Pelajar pada zaman revolusi fisik kemerdekaan dulu. Keduanya sama-sama pernah bertugas di Yogyakarta, ibu kota pada masa itu. Jadi bisa dibilang relasi mereka sudah beyond professional relationship, mereka ini ibaratnya “brother in arms”. Pak Emil yang membutuhkan dukungan ahli hukum, khususnya dalam penyusunan UU 4/1982 dan pelaksanaannya, menghubungi kolega lamanya: Pak Koes, dan jadilah kolaborasi penting dua veteran perang kemerdekaan ini di Kementerian Lingkungan Hidup saat itu.
Dari sini gerakan lingkungan seolah dapat momentum yang pas, semua bergulir kencang setelahnya. Apalagi kurun 1980-an adalah masa dimana Orde Baru mulai masuk dalam titik kritis-nya. Beberapa inisiatif pembangunan yang dicanangkan tanpa perhatikan aspek sosial-ekologis mulai mendapat perlawanan dari kelompok masyarakat sipil yang sedikit banyak difasilitasi ruangnya oleh inisiatif Pak Emil dan Pak Koes.
Salah satu yang penting adalah kasus pembangunan bendungan di Kedung Ombo. Dampak ekologis dan sosial pembangunan dam ini disuarakan banyak pihak ketika itu. Salah satunya oleh LBH Jakarta/YLBHI lewat salah satu lawyer muda-nya ketika itu: Mas Achmad Santosa (Mas Ota). Ada yang menarik dari kisah dibelakang keterlibatan beliau dalam advokasi Kedung Ombo ini, sebagaimana dituturkan yang bersangkutan dalam obituari untuk Prof. Koesnadi. Beliau mengaku pada awalnya tidak pernah bersentuhan dengan hukum lingkungan, namun ketika Pak Koes meminta Mas Ota untuk menjadi pembicara dalam seminar berkaitan dengan advokasi kasus Kedung Ombo di UGM, Mas Ota akhirnya mulai semakin mendalami hukum lingkungan dan bersentuhan dengan banyak kasus-kasus lingkungan kedepannya.
Peran Pak Koes dalam “mengkader” Mas Ota sebagai salah satu kampiun hukum lingkungan tanah air agaknya sangat signifikan dan beliau harus bangga karena hal itu sangat berhasil. Mas Ota saat ini dikenal dan diakui sebagai legal scholar dan praktisi hukum lingkungan yang sangat dihormati, tidak hanya di tanah air tapi di komunitas hukum lingkungan internasional. Beliau juga kelak mendirikan ICEL (Indonesian Center for Environemntal Law) pada tahun 1992, LSM yang khusus bergerak dalam pengembangan hukum lingkungan dan karenanya menjadi tempat persemaian generasi baru aktivis dan pemikir hukum lingkungan sampai hari ini.
Bagaimana dengan Pak Emil sendiri?
Peran Pak Emil makin signifikan tidak hanya di tanah air tapi juga di tingkat internasional dengan keterlibatan beliau dalam Bruntland Comission (World Commission on Environment and Development) yang diketuai oleh PM Norwegia ketika itu: Gro Harlem Bruntland. Ini adalah tim kecil yang dibentuk untuk mempersiapkan rumusan yang akan dibahas dalam KTT Bumi tahun 1992 di Rio de Janiero. Tim yang bekerja sejak Oktober 1984-Maret 1987 ini menghasilkan konsep dan yang teramat sangat penting: Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan), lengkap dengan peta jalan pelaksanaannya.
Bisa dibilang Bruntland Commission adalah nyawa dari KTT Bumi 1992. Pertemuan global yang difasilitasi PBB ini merupakan kelanjutan dari Konferensi Stockholm, dan dari pertemuan tahun 1992 ini lahir 2 instrumen hukum internasional yang mengikat: UNFCCC (Konvensi Internasional Mengenai Kerangka Kerja Perubahan Iklim), UNCBD (Konvensi Kenaekaragaman Hayati); 3 instrumen hukum internasional yang tidak mengikat: The Rio Declaration, Forest Principles, dan Principles for a Global Consensus on the Management.
Dari titik ini, di tataran global perkembangan hukum menjadi lingkungan semakin pesat. Kesadaran dunia tentang pentingnya menjaga kelstarian lingkungan juga semakin meningkat. Adapun di tanah air sendiri, gerakan lingkungan hidup juga semakin semarak, tentu dengan catatan-catatanya. Pengembangan hukum lingkungan juga semakin intensif. Aktivis dan pembaharu hukum lingkungan bertebaran dimana-mana, tidak hanya di LSM tapi sudah menyebar hingga ke birokrasi, penegak hukum, bahkan hakim. Tentu tanpa bermaksud mengecilkan semua orang yang berjasa dalam gerakan lingkungan di Indonesia, namun agaknya gak berlebihan kalau kita bilang semua ini mendapatkan momentumnya hari ini, 5 Juni, 46 tahun yang lalu ketika Pak Emil, seorang ekonom yang mulai merintis karir pemerintahan, menghadiri pertemuan di Stockholm, Swedia.
Selamat Hari Lingkungan Hidup !!!!
-Jalan Jatisari 2, Jati Padang, 5 Juni 2018
PS: Buat yang baca sampai sejauh ini, mungkin ada yang penasaran, kenapa ada referensi Obituari Prof. Koesnadi Hardjasoemantri disana. Obituari ini memang dibuat dan ditulis oleh orang-orang yang berinteraksi dengan beliau ketika mendengar kabar Pak Koes termasuk dalam daftar korban kecelakaan pesawat Garuda (GA-200) pada tanggal 7 Maret 2007 di Yogyakarta.
Leave a Reply