Prof. Dawam Rahardjo. Saya tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Cuma tau kalau beliau dulu pimpinan LP3ES, organisasi masyarakat sipil yang di masa Orde Baru menerbitkan jurnal berpengaruh “Prisma”, yang tidak cuma jadi tempat orang melakukan diskursus akademik, tapi juga jadi pegangan buat mereka yang bergiat dalam gerakan pro-demokrasi. Ada lagi yang bikin nama Prof Dawam sangat familiar buat saya: skripsi sarjana 10 tahun lalu. Gara-gara mencoba menulis tentang konstitusionalitas sistem pereknomian, saya jadi harus sering membuka risalah sidang pembentukan UUD 1945 dan terutama risalah sidang amandemen UUD 1945 dalam kurun 2001-2002. Dan dari situ lah saya jadi tau, kalau Prof. Dawam Rahardjo ini salah satu ahli yang masuk dalam Panitia Ad Hoc I (PAH I) yang bersama-sama anggota MPR mendiskusikan rumusan penting untuk perubahan konstitusi kita, terutama yang berkenaan dengan soal ekonomi dan kesejahteraan sosial: Pasal 33 dan 34.
Singkat cerita, dari risalah sidang amandemen UUD 1945 dan terutama dari buku karangan Prof. Mubyarto (Amandemen Konstitusi dan Pergulatan Pakar Ekonomi, 2001) yang merekam proses pembahasan dan keresahan beliau atas upaya “mempreteli” Pasal 33, saya juga jadi tau kalau Prof. Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo ini ada dalam kubu ahli di PAH I yang menghendaki agar Pasal 33 UUD 1945 sesuai dengan rumusan aslinya tetap dipertahankan.Selain Prof. Mubyarto yang jadi ketua tim ini serta Prof. Dawam Rahardjo sebagai anggota, termasuk dalam keanggotaan PAH I adalah ekonom (alm) Dr. Sjahrir, Prof. Didik J. Rachbini, Prof. Bambang Sudibyo dan 2 srikandi ekonom brilian: Dr. Sri Mulyani dan Dr. Sri Adiningsih.
Dua yang terakhir ini, bersama dengan Dr. Boediono yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Keuangan, dalam risalah-risalah sidang dan pemberitaan media yang saya temukan, merupakan kelompok ekonom yang gencar mendorong agar Pasal 33 UUD 1945 rumusan asli para pendiri bangsa dihapuskan. Secara ringkas, dalam pandangan kelompok ini “asas kekeluargaan” (Pasal 33 ayat (1)) dan “penguasaan negara” atas apa yang oleh Prof. Jimly Asshiddiqie sebut sebagai “sumber-sumber kemakmuran” yakni “cabang produksi penting bagi negara” serta “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya” (Pasal 33 ayat (2) dan (3)) hendaknya dihapuskan. Dalam pandanga mereka, selain karena Pasal 33 sudah outdated, rumusannya tidak jelas, dan karenanya rentan diselewengkan sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru.
Perbedaan pandangan diantara para pakar yang berpokok pada soal perlu tidaknya meempertahankan Pasal 33 rumusan asli ini oleh Prof. Mubyarto dianggap sudah sangat prinsipil, ideologis, dan tidak mungkin lagi dimediasi. Perbedaan pandangan yang tajam ini berkembang menjadi polemik yang panas dan berujung pada mundurnya Prof.Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo dari PAH I MPR pada tanggal 23 Mei 2001. Sayangnya sorotan publik saat itu, setidaknya dari penelusuran arsip media yang saya temukan, tidak sebesar sorotan pada perdebatan tentang dasar negara yang sedikit banyak diulas dalam proses amandemen Pasal 29 UUD 1945.
Dari bacaan atas risalah sidang, kesan yang saya tangkap adalah Pak Muby (panggilan Prof. Mubyarto) dan Pak Dawam meninggalkan arena dengan kepala tegak. Mereka tidak ingin kehadiran mereka menjadi legitimasi atas upaya mempreteli demokrasi ekonomi a la Pasal 33 yang dicita-citakan Bapak dan Ibu Pendiri Bangsa. Mereka berdua bertarung habis-habisan memberikan argumen mengenai urgensi mempertahankan Pasal 33 UUD 1945 versi asli, yang oleh Goerge McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) dianggap sebagai sintesa dari semangat anti kolonialisme, kolektivisme masyarakat adat/desa, sosialisme, dan Islam.
Dalam pandangan akhirnya Pak Muby berpendapat bahwa tidak tercapainya kesejahteraan rakyat bukan karena tidak memadainya konsep demokrasi ekonomi dalam Pasal 33 UUD 1945, tapi karena penguasa sejak zaman Seokarno dulu belum pernah menerapkannya secara sungguh-sungguh. Beliau mengutip Ketetapan MPR No XVI/MPP/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi, yang dalam pandangannya adalah pengakuan kekeliruan penerapan Pasal 33 oleh negara dan komitmen politis untuk memperbaikinya. Pak Muby, agaknya dengan nada sentimentil dan kekecewaan menyatakan begini di sidang PAH I yang terakhir diikutinya.
Kesimpulan kita adalah bahwa terjadinya pengurasan kekayaan alam bukanlah [karena] ketentuan Pasal 33 tidak memadai atau karena kesalahan Pasal 33 tetapi karena dasar demokrasi ekonomi benar-benar telah dilanggar atau tidak dilaksanakan. Perubahan dan tertib pembahasan dan perdebatan sengit di antara anggota Tim Ahli Bidang ekonomi, khususnya perlu tidaknya Pasal 33 diamandemen, seakan-akan mengisyaratkan bahwa jika Pasal 33 tidak diamandemen maka krisis ekonomi tidak akan pernah teratasi, KKN akan terus merajalela…
(Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Hal. 377-378)
Sepertinya mundurnya Pak Muby dan Pak Dawam dari tim benar-benar mempengaruhi anggota MPR yang pada akhirnya memutuskan untuk mempertahankan rumusan asli Pasal 33 yang berisi 3 ayat itu dengan penambahan 2 ayat mengenai asas-asas penyelenggaraan perekonomian nasional dan mandat penyusunan undang-undang yang mengaturnya. Bisa jadi ini jalan tengah yang diambil oleh MPR, namun sebagaimana telah diwanti-wanti oleh Prof. Sri Edi Swasono (ekonom UI, menantu Bung Hatta dan tokoh Ekonomi Pancasila lainnya), penambahan dua ayat dalam Pasal 33 itu bisa menjadi “kuda troya” yang melemahkan demokrasi ekonomi a la Pasal 33 terutama dengan pencantuman “asas efisiensi” di ayat (4). Selain itu, menurutnya, restrukturisasi Bab yang memuat Pasal 33 dan Pasal 34 (tentang kesejahteraan sosial) dalam satu Bab menjadi “BAB XIV PEREKONOMIAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL” dikhawatirkan menjadikan urusan kesejahteraan sosial semata derivat dari aktivitas perekonomian.
Apapun itu, tetap dipertahankannya rumusan asli Pasal 33 saya rasa tetap membuka ruang bagi penerapan demokrasi ekonomi sebagaimana yang dicita-citakan bapak dan ibu pendiri bangsa. Terlebih bagi advokat publik dan pegiat hak-hak masarakat yang tetap bisa menggunakan dalil Pasal 33 (asli) saat mengajukan konstitusionalitas undang-undang ke Mahkamah Konstitusi seperti yang selama ini sudah dilakukan dalam berbagai pengujian undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam: Kehutanan, Minyak dan Gas Bumi, Pertambangan, Sumber Daya Air dan lainnya. Dan atas semua itu, kita harus berterimakasih pada dua ekonom kerakyatan yang gigih mempertahankan Pasal 33 (asli): Prof. Mubyarto yang telah berpulang pada tahun 2005, dan Prof. Dawam Rahardjo yang baru saja berpulang tadi malam, 30 Mei 2018.
Leave a Reply