Tidak ada tempat yang lebih menyenangkan selain perpustakaan yang hening dengan deretan buku yang tersusun rapi di rak-rak yang tinggi menjulang. Aroma kertas tua yang menguar ke udara menambah suasana magis perpustakaan, seolah mengundang pengunjungnya untuk bertualang menembus waktu dan lintasan sejarah. Menceburkan diri ke dalam kolam pengetahuan, meresapi herorisme para pendahulu, atau sekedar berasyik masyuk membaca romansa para pencinta.
Saya pernah mampir ke perpustakaan yang diyakini sebagai perpustakaan, di era modern, yang punya koleksi terbanyak di dunia: The Library of Congress di Washington, DC. Sempat juga “mondok” di perpustakaan kampus the University of Sydney yang buka 24 jam dan sangat memanjakan kami, para mahasiswa-nya, dengan berbagai fasilitas yang membuat kami senyaman di rumah, selain tentunya koleksi buku yang melimpah. Saya juga pengunjung rutin perpustakaan nasional dan perpustakaan daerah Jakarta. Pernah juga saya terdaftar sebagai member dari perpustakaan sekolah filsafat dan teologi di bilangan Rawasari yang penuh dengan calon-calon imam yang rendah hati dan membaca dengan kekhidmatan melebihi orang kebanyakan. Semua perpustakaan itu meninggalkan kesan mendalam pada diri saya, tapi tak ada yang bisa mengalahkan Perpustakaan Pusat UI lama.
Parpus Pusat UI lama terletak di belakang gedung Fasilkom (Fakultas Ilmu Komputer), berhadapan dengan salah satu gedung di kampus FIB (Fakultas Ilmu Budaya). Spot favorit saya terletak di lantai 3 yang diperuntukan sebagai ruang penyimpanan koleksi referensi berupa ensiklopedia, kamus dan jurnal-jurnal ilmiah. Di sini saya menemukan koleksi 60-an jilid tebal Great Books of the Western World yang mengkompilasi karya-karya pemikir Barat yang membentuk dunia yang kita kenal sekarang, mulai dari Aristoteles, Montesquieu, hingga Marx. Saya juga menemukan koleksi Harvard Law Journal yang tersohor ketika masih dinakhodai oleh Barrack Hussein Obama di tahun 1990-an. Pertama kali “menemukan” spot ini saya merasa seperti menemukan harta karun yang entah kenapa seperti diabaikan. Ruangan yang sepi dan debu yang tebal melapisi sampul koleksi buku disana seolah mengkonfirmasi dugaan saya. Entah saya harus merasa sedih atau senang karena ini. Sedih karena sumber pengetahuan yang berharga ini seolah jarang sekali disentuh oleh kebanyakan mahasiswa, atau senang karena saya punya sanctuary yang sangat nyaman untuk membaca atau sekedar menyepi dan menikmati keheningan.
Tapi itu semua dulu. Era internet, smartphone dan komputer dengan kemampuan komputasi menakjubkan yang berkembang dalam laju eksponensial dalam kurun satu dekade ini berdampak pula pada preferensi saya atas perpustakaan. Sebagaimana halnya Taxi dan Ojek Konvensional yang ter-disrupt oleh Uber, Gojek dan Grab yang memanfaatkan internet serta perkembangan teknologi informasi dalam menjalankan bisnisnya, buat saya perpustakaan (konvensional) juga lambat laun mengalami hal yang sama. Kemewahan perpustakaan (konvensional) sekarang cuma ada di tempat aja. Selebihnya sudah diambil alih oleh komputer, smartphone, dan internet.
Era internet membuat hampir semua hal bisa di-digitalisasi. Hampir semua buku yang dicetak sekarang sudah ada versi eBook-nya, yang bisa diunduh dan terkirim dalam gadget kita dalam hitungan detik. Karya ilmiah hasil penelitian dari para peneliti hebat sejak awal abad ini sudah bisa kita dapatkan bentuk digitalnya. Saya malah pernah dapat arsip putusan pengadilan Kerajaan Britania (High Court of Justice) dari abad ke -16 dalam bentuk digital.
Jika dulu penelusuran katalog hanya bisa dilakukan di lokasi perpustakaan secara manual (anak-anak generasi old pasti tau fungsi lemari katalog yang berisi laci-laci kecil, disusun alphabetik, berisi deretan kertas didalamnya yang memuat informasi mengenai buku/naskah dan lokasi untuk memperolehnya di perpustakaan), maka kini katalog bisa kita akses dimana saja di seluruh pojok dunia asal tersdia koneksi internet. Apalagi kalau anda terdaftar sebagai member di sebuah perpustakaan atau berlangganan koleksi database tertentu, maka “buku” atau “naskah” yang anda cari bisa anda dapatkan seketika itu juga. Tak terhitung juga situs-situs yang membuka peluang kita untuk mendapatkan berbagai buku, jurnal, atau sekedar majalah lewat “jalur belakang” tanpa harus membeli atau berlangganan. Era internet memang membuat perpustakaan dan pengetahuan semakin mudah dijangkau, bahkan kini “perpustakaan” bisa dengan mudah anda “genggam” dan “simpan” di saku sembari bepergian. Anda bisa membawa ribuan koleksi buku anda kemanapun anda pergi selama anda punya smartphone dan koneksi internet tentunya.
Saya mau share beberapa aplikasi dekstop dan android yang membuat saya serasa memiliki perpustakaan dalam genggaman. Kalau kiranya anda merasa sebagai seorang kutu buku dan avid reader, aplikasi-aplikasi ini rasanya wajib anda miliki!
1. Calibre (PC)
Pada dasarnya Calibre adalah aplikasi yang membantu anda mengelola koleksi-koleksi eBook yang anda punya baik yang berformat PDF, Mobi, epub dan lainnya. Pasti repot kalau anda suka men-download/membeli ebook dan menyimpannya secara “manual” di komputer anda dalam berlapis-lapis folder yang anda buat di dalamnya. Ketika dibutuhkan kadang terlupa dimana menyimpannya. Menggunakan fitur “search and find” juga kadang tidak banyak membantu. Nah aplikasi ini akan membantu anda mengatasi masalah itu.
Dengan tampilan antar muka yang sangat ciamik dan user friendly, semua koleksi eBook anda akan tersimpan dengan rapi dalam database yang ditampilkan dalam bentuk katalog dengan fitur pencarian yang bisa anda modifikasi, seperti menambahkan tags/kata kunci dalam eBook/dokumen yang anda simpan di Calibre, sehingga memudahkan anda ketika melakukan pencarian.
Yang lebih mantap, jika koleksi eBook/dokumen anda memiliki ISBN, artinya diterbitkan dan didistribusikan ke publik, maka Calibre akan secara otomatis mendownload detail informasi buku dari berbagai database yang tersedia mencakup sampul buku, penulis, tahun terbit, ratting, review, resensi dan deskripsi buku ketika anda memasukannya dalam database Calibre.
Dengan Calibre, koleksi eBook anda akan tertata dengan rapi, terlihat layaknya katalog perpustakaan “beneran”, dan yang paling penting memudahkan anda untuk menemukan dan membacanya. Jika anda ingin membacanya, tinggal klik judul/cover buku yang ditamplkan dalam Calibre dan secara otomatis Calibre akan membuka dokumen/eBook tersebut di komputer anda. Kalau anda ingin membacanya di gadget anda, Calibre menyediakan fitur konektivitas dengan eBook reader atau gadget lain yang anda gunakan (Lihat juga penjelasan aplikasi Calibre Companion di bawah).
Calibre bisa diunduh secara gratis disini, saat ini tersedia versi yang bisa digunakan di komputer windows, mac, atau linux anda.
2. Calibre Companion (app)
Kalau ada satu kelemahan Calibre, menurut saya sampai sekarang ini belum ada versi app resmi yang bisa diinstal di gadget android. Tapi jangan khawatir, saat ini sudah ada aplikasi android yang direkomendasikan oleh pengembang Calibre untuk memudahkan konektivitas Calibre dengan gadget yang anda gunakan.
Dengan Calibre Companion, anda bisa mengakses database perpustakaan yang anda buat di komputer dengan menggunakan Calibre versi PC. Ini bisa dlakukan karena Calibre versi PC memiliki fitur “Wireless device connection” serta dapat difungsikan pula sebagai “Content Server”. Dengan kedua fitur tersebut, anda bisa melihat koleksi buku-buku, mentransfernya dari komputer ke gadget anda untuk dibaca disitu.
Aplikasi Calibre Companion di gadget anda dapat terhubung dengan Calibre di PC selama fitur konektivitas di PC dinyalakan dan keduanya (PC dan gadget) terkoneksi dalam jaringan internet Wi-Fi yang sama. Memang masih agak ribet sebetulnya, karena anda harus menyalakan komputer dan gadget pada saat yang bersamaan. Tapi sejauh ini, aplikasi ini yang paling oke buat konektivitas Calibre dengan gadget favorit anda.
Aplikasi Calibre Companion bisa diunduh di Play Store dengan harga kurang lebih IDR 50 Ribu-an. Ada versi gratisnya, tapi kemampuannya terbatas cuma buat transfer buku aja, gak bisa difungsikan sebagai content server.
3. Mendeley (PC dan app)
Sebetulnya kalau boleh jujur, ini aplikasi yang paling bagus buat kataloging dan manajemen penyimpanan buku/referensi dalam bentuk PDF jika dibandingkan dengan Calibre. Mendeley menyediakan cloud storage gratis yang bisa digunakan untuk meng-upload dokumen yang kita simpan sebesar 2GB (bisa bertambah asalkan bayar, cek plan-nya disini).
Nah dengan cloud storage ini, kita bisa akses dokumen yang kita simpan dalam platform ini dimana saja menggunakan perangkat apa saja secara online. Saat anda mendownload aplikasi Mendeley dan nenginstall-nya di PC, anda akan diminta untuk melakukan registrasi account Mendeley. Nah kalau misalkan anda membangun “perpustakaan” dengan menggunakan Mendeley di laptop dan kebetulan laptopnya lagi rusak, anda tetap bisa akses “perpustakaan” anda dengan masuk ke akun Mendeley di browser dimana anda bisa akses semua dokumen yang sudah disimpan sebelumnya. Oya, Mendeley juga punya versi android resmi, jadi anda bisa akses perpustakaan anda dan membaca buku/dokumen yang ada di dalamnya langsung dari gadget anda.
Sebagaimana halnya Calibre, dokumen/eBook yang anda simpan di Mendeley juga akan diperiksa” secara otomatis oleh Mendeley untuk dicari detail informasi-nya seperti penulis, tahun terbit, penerbit, dan terutama resensi/ringkasannya. Bedanya Mendeley tidak memyediakan fitur untuk menampilkan sampul buku sebagaimana halnya Calibre. Semua perubahan yang anda buat di Mendeley, misalnya anda nambah koleksi di gadget atau edit dokumen di gadget, maka secara otomatis katalog Mendeley di PC anda juga akan berubah karena adanya fitur sinkronisasi.
Sebetulnya Mendeley lebih dari sekedar aplikasi untuk kataloging dan manajemen pengelolaan dokumen/ebook/pdf. Mendeley adalah aplikasi yang powerful buat para peneliti dan penulis. Kalau misalnya anda pernah denger aplikasi EndNote, nah Mendeley ini adalah versi open source dan gratisannya. Sebagaimana EndNote, Mendeley menyediakan aplikasi built in untuk membaca dan mengedit (highlight dan membuat anotasi) dokumen PDF yang disimpan didalamnya. Dan yang paling penting, sebagaimana juga EndNote, Mendeley membantu anda dalam membuat kutipan (reference) dan bibliografi ketika menulis ilmiah.
Nah, buat yang pernah nulis ilmiah (minimal skripsi) pasti tau gimana menjengkelkannya ngedit referensi dan bikin daftar pustaka (bibliorgrafi) baik itu yang pakai model Harvard Style, APA, Chicago Style, Turabian dan sejenisnya. Mendeley akan secara otmatis membuat kutipan dan daftar pustaka sesuai dengan style pengutipan yang dipakai saat kita sedang menulis di aplikasi Microsoft Office Word atau LibreOffice Writer (versi linux Office Word). Mendeley menyediakan plugin yang bisa integrasikan keduanya dengan Mendeley. Jadi gak perlu lagi repot-repot nulis nama penulis, ngatur titik koma dan semua tetek bengek lainnya saat bikin kutipan ilmiah. Tinggal klak-klik mouse langsung beres. Bahkan buat yang pakai standar pengutipan yang gak lazim macam AGLC (Australian Guide to Legal Citation), macam saya dulu T_T (pengen nangis rasanya inget ribetnya AGLC), Mendeley juga cukup bisa diandalkan (meski tetep harus di re-check lagi, soalnya gak kaya gaya pengutipan standar macam Harvard Style, plugin AGLC di Mendeley masih versi beta).
Dengan fitur dan kekhasan seperti ini, saya menggunakan Mendeley untuk menyimpan semua jurnal/artikel ilmiah atau buku-buku text (ilmiah) yang saya download dari database untuk kebutuhan menulis. Sementara untuk buku-buku secara umum, termasuk buku-buku fiksi dan non-fiksi, saya pakai Calibre. Oya, Mendeley juga bisa mengenali jenis dokumen yang anda upload/simpan, apakah berupa artikel ilmiah biasa, apakah berupa chapter dari sebuah buku, bahkan putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan pun bisa dikenali oleh Mendeley. Buat pekerja bidang hukum macam saya, aplikasi ini benar-benar sangat membantu.
Aplikasi mendeley buat PC bisa di-download gratis disini, buat aplikasi versi android bisa cek disini. Keduanya gratis, bayar kalau mau ningkatin kapasitas cloud storage aja.
Leave a Reply