Tidak ada berita yang cukup bikin perut mual dan rasa was-was memuncak sepanjang pekan kemarin kecuali berita tentang sesumbar Scott Pruitt, pimpinan Environmental Protection Agency (EPA) pilihan Trump, saat pertemuan kelompok konservatif Amerika Serikat akhir pekan kemarin.
Penunjukan Scott Pruitt, mantan Jaksa Agung negara Bagian Oaklahoma, memang menuai kontroversi. Pruitt, sebagai jaksa negara bagian, telah menggugat institusi yang sekarang dipimpinnya tak kurang dari 14 kali. Semua gugatannya memiliki kepentingan dengan bisnis “kotor” dan “padat karbon” dari sektor industri minyak dan gas yang memang secara ketat diawasi oleh EPA. Belakangan malah terkuak email yang menunjukan keterkaitan erat Pruitt dengan berbagai perusahaan minyak saat ia menjalankan tugasnya sebagai Jaksa Agung Oaklahoma.
Atas penunjukan Pruitt ini staff, mantan staff dan mantan pimpinan EPA serta kubu Demokrat menyatakan keberatan dan sudah menyuarakan penolakan mereka. Tapi itu toh tak cukup menjegal Pruitt dari nominasi sebagai Administrator EPA, sebagaimana Andrew Puzder yang berhasil dijegal dari nominasinya sebagai labor secretary (menteri tenaga kerja) akibat sorotan atas aktivitas bisnis dan masa lalunya terhadap pekerja di bisnisnya. Maka jadilah kini EPA, lembaga perlndungan lingkungan hidup yang sangat dihormati di dalam dan luar negeri, dipimpin oleh seseoarang yang percaya kalau lembaganya harus dibubarkan atau setidaknya dibatasi ruang geraknya. Ironis.
Kekhawatiran atas EPA di era-nya Pruitt ini agaknya terkonformasi akhir pekan kemarin. Dihadapan kelompok konservatif, yang memang secara tradisional kerap bersebrangan dengan agenda-agenda keberlanjutan lingkungan, Pruit dengan enteng berujar kalau pandangan mengenai perlunya pembubaran EPA dapat dibenarkan. Pruitt menganalogikan desakan pembubaran EPA sama dengan sentimen negatif sebagian rakyat Amerika terhadap Internal Revenue Service (IRS), biro pajak pemerintahan federal Amerika. Tapi bukan cuma itu yang layak bikin kita, yang bukan warga negara Amerika Serikat cemas.
Adalah pernyataan Pruitt yang berjanji untuk sesegera mungkin mengevaluasi regulasi berkaitan dengan pencemaran air, udara dan perubahan iklim yang layak bikin kita merinding. Pruitt memandang regulasi-regulasi perlindungan lingkungan yang dibuat pada era Obama itu telah memberikan ketidakpastian bagi dunia usaha. Dalam pandangannya, Kaum Konservatif tidak perlu bersikap apologetik terhadap lingkungan hidup karena mereka bisa tetap fokus pada pencipataan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi sambil tetap memperhatikan lingkungan hidup. Pernyataan yang sebetulnya baik tapi jadinya malah terlihat seperti gimmick kalau dikaitkan dengan pernyataan-pernyataan kontroversial Pruitt. Lagipula apa yang ia sampaikan bukan hal baru bagi kalangan environmentalist. Malah gagasan itu sudah berkembang lebih dari sekedar retorika. Pandangan yang menempatkan ekonomi dan ekologi secara diamteral sudah ditinggalkan terutama sejak gagasan ekonomi hijau diperkenalkan.
Kenapa kita semua harus cemas?
Jika Pruitt benar-benar menjadi alat Trump untuk merealisasikan janji-janji kampanyenya soal perlu tidaknya EPA dipertahankan, soal pengembangan industri energi bebasis bahan bakar fosil, dan penyangkalan terhadap perubahan iklim, maka itu merupakan alarm buat umat manusia. Amerika Serikat adalah negara pengemisi gas rumah kaca (sebagai faktor pemicu pemanasan global dan perubahan iklim) terbesar kedua di dunia (sekira 6.343..841 kTon CO2eq) setelah China (sekira 12.454.711 kTon CO2eq) diikuti oleh India (sekira 3.002.895 kTon CO2eq).
Komitmen global untuk menjaga agar rerata suhu permukaan bumi tidak terus naik dan karenanya dampak perubahan iklim tidak semakin buruk, bergantung dari kesungguhan negara-negara pengemisi terbesar ini menjalankan komitmen penuruan emisi GRK mereka sebagaimana yang telah disepakati di Paris tahun 2015 lalu. Pemerintahan Obama memastikan Amerika Serikat untuk ikut serta dalam komitmen ini dengan menyampaikan INDC (Intended Nationally Determined Contribution) yang mencantumkan target ambisus Amerika Serikat untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26-28% dari tingkat emisi di tahun 2005.
Untuk mencapai target ambisius inilah keberadaan EPA menjadi sangat signifikan. Jika Pruitt sungguh-sungguh mencabut regulasi yang berkaitan dengan perubahan iklim dan melonggarkan restriksi untuk keberlangsungan aktivitas industri yang padat karbon, maka target ini cuma akan jadi angan-angan. Apalagi sejak masa kampanye hingga sebulan pemerintahan Trump berjalan, retorika mengenai penarikan diri Amerika Serikat dari Paris Agreement dan pencabutan semua insiaitif pemerintahan Obama berkenaan dengan perubahan iklim seakan tak pernah surut.
Lebih dari itu, sebagaimana dengan apik diulas oleh Stewart M. Patrick (Senior Fellow in Global Governance, Council on Foreign Relations) di Foreign Affairs Magazine edisi Maret-April 2017, pemerintahan Trump yang disruptif ini akan terus menimbulkan ketidakpastian bagi banyak negara dalam menyikapi Amerika Serikat sebagai kekuatan super power di tengah bangkitnya China sebagai kekuatan global baru. Negara-negara akan mengambil posisi hedging dengan Amerika Serikat, posisi mengambang yang tidak dengan tegas menunjukan keberpihakan (political leaning) baik ke Amerika Serikat, China atau kekuatan global lain yang muncul.
Banyak negara akan mengambil posisi hedging terhadap target penurunan emisi global, jika Trump dan Pruit sungguh-sungguh mencabut komitmen Amerika dalam menyikapi perubahan iklim. Paris Agreement mungkin tidak akan benar-benar ditinggalkan, namun negara-negara akan memformulasikan kembali komitmen mereka dalam bahasa yang ambigu, memperpanjang jangka waktu target penurunan emisi gas rumah kaca, atau malah benar-benar meninggalkan upaya mitigasi peningkatan emisi GRK dan hanya melakukan upaya adaptasi perubahan iklim.
Kalau sudah begini, maka jelas arah kebijakan lingkungan hidup Amerika Serikat yang akan ditunjukan oleh Trump dan Scott Pruitt sebagai Administrator EPA akan sangat menentukan keberlangsung hidup semua manusia di muka bumi ini, terlepas dia warga negara Amerika Serikat atau bukan. Sebab dampak bencana akibat perubahan iklim, sebagaimana ekosistem itu sendiri, tidak mengenal batas wilayah administratif dan politik. Maka jelas: semua orang harus cemas dengan EPA-nya Pruitt.
Leave a Reply