Semester lalu, Prof. Ed Couzen, dosen saya di mata kuliah International Wildlife Law berujar kalau Australia adalah satu dari megabiodiversity countries di dunia. Sebagai seorang Indonesia, yang sejak SD dicekoki tentang kekayaan alam nusantara dan hutan-hutan tropisnya yang (pernah) lebat yang menjadi rumah bagi jutaan species flora dan fauna, saya agak tergeltik juga mendengar itu. Mungkin ini cuma sentimen kebangsaan yang tidak pada tempatnya sih.
Australia memang adalah sebuah negara kontinen yang memiliki kekayaan dan ekosistem yang luar biasa. Dan tidak seperti Indonesia yang (cuma) negara berkembang, Australia adalah negara maju dengan populasi yang bisa dibilang sedikit untuk negara yang mengokupasi seluruh benua selatan ini (data tahun 2013, populasi manusia di benui ini cuma 23,13 juta jiwa). Ini jelas menjadi keuntungan tersendiri untuk upaya konservasi ekosistem Australia yang khas dan unik ini. Masalah pendanaan konservasi tidak akan menjadi masalah dan tekanan kepada lingkungan tentu tidak akan sebesar negara dengan populasi sebesar Indonesia. Dan lagi, Australia yang oleh pelaut-pelaut dan petualang Eropa dikenal dengan Terra Australias Incognitos alias The Unknown Land of The South bisa dibilang nyaris terselamatkan dari keserakahan manusia yang mengeruk alam sebagai harga untuk keberlangsungan peradaban mereka.
Australia baru “ditemukan” tahun 1770 dan jauh sebelum orang-orang Eropa mengokupasi tanah ini, sebuah peradaban luhur yang menjaga keharmonisan alam dengan manusia telah dikembangkan oleh The First Australian, pemilik sah benua ini, mereka yang oleh bangsa pendatang kemudian disebut Aborigin. Bisa dibilang ketika nyaris setengah bagian dunia memasuki era Revolusi Industri, masa dimana cerobong-cerobong asap pabrik dengan pongah mengotori langit dan menimbun emisi karbon dalam jumlah raksasa di angkasa -yang celakanya dampaknya terus kita rasakan sampai sekarang berupa perubahan iklim, peradaban bangsa Aborigin yang nir-kerakusan menjaga kelestarian benua Australia yang indah ini. Dan agaknya hal ini turut mempengaruhi paradigma dan pendekatan bangsa pendatang dalam mengolah alam Australia sejak abad ke 18 hingga sekarang.
Buat saya, kemewahan terbesar bisa tinggal di negeri ini bukanlah fasilitas-fasilitas publiknya yang luar biasa nyaman tapi kesempatan untuk menikmati alam yang tetap terjaga sedemikian rupa. Masalah-masalah lingkungan bukannya tidak pernah ada di negeri ini, tapi dari sedikit pengetahuan yang saya dapat dari guru-guru di kampus, kemampuan negeri ini memitigasi kerusakan lingkungan dan mencegah kerusakan berlanjut memang luar biasa.
Yak cukup bahas hal-hal yang agak berat hehe. Tulisan ini sebetulnya gak bermaksud bahas hal-hal serius. Saya cuma mau membagikan pengalaman saya kemarin melakukan trip singkat ke sebuah tempat yang luar biasa indah di Campbelltown, sebuah kota suburban 50 km di selatan Sydney, Australia. Kawasan ini memang dikenal sebagai surganya pencinta hiking, telusur sungai dan hutan khas Australia atau populer disebut bushwalking.
Tempat yang saya kunjungi ini adalah sebuah lembah di salah satu bagian The Georges River atau Tucoerah sebagaimana bangsa Aborigin meneybeutnya. Tempat ini sangat populer di kalangan bushwalkers karena menyuguhkan panorama yang aduhai indahnya. Seperti namanya, The Basin adalah bagian dari sistem sungai The Georges River yang membentuk semacam danau atau kolam yang sangat indah. Anda juga akan menemukan air terjun kecil yang bunyi gemericik airnya menghadirkan ketenangan yang luar biasa. Rimbun pepohonan dan ngarai-ngarai tinggi yang mengelilingi The Basin menambah suasana syahdu dan mistis kawasan ini. Siang itu saya benar-benar cuma sendiri di situ. Perasaan was-was berada di tengah hutan yang sepi seketika hilang setelah gemericik sungai terdengar di The Basin. Rasa lelah menuruni lereng menuju kawasan ini dijamin akan hilang setelah bunyi gemericik air masuk menembus telinga.
Tidak sulit untuk mencapai kawasan ini. Dari pusat kota Sydney anda bisa naik kereta dari Central Station menuju Cambelltown Station dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam perjalanan. Dari Campbelltown station anda bisa naik bus sampai ke ujung jalan Georges River untuk melanjutkan perjalan menembus semak dan hutan khas Australia selama kurang lebih 1 jam. Sayangnya kawasan ini bisa dibilang benar-benar sepi. Bus yang mengantar sampai ujung jalan terakhir yang bisa ditembus dari Cambelltown station bisa dibilang amat sangat jarang. Siang itu, seperti biasa saya naik sepeda. Saya turun di Leumeah Station, satu pemberhentian sebelum Campbelltown Station. Sengaja saya pilih jalur ini agar bisa melewati Kentlyn Longhurst Reserve yang konon kalau beruntung bisa berpapasan dengan koala yang lagi menyebrang jalan hehehe
Sulit buat saya menggambarkan lebih jauh keindahan kawasan ini. Cukup sedikit foto-foto alakadarnya ini yang menjelaskan keindahan secuil surga ini.
Leave a Reply